Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk miskin di Maluku Utara (Malut) pada September 2020 sebanyak 87,52 ribu orang atau 6,97 persen. Jumlah itu kemudian bertambah sekira 1,15 ribu orang bila dibandingkan pada Maret 2020 sebanyak 86,37 ribu orang atau 6,78 persen.
Sementara, di satu sisi, jumlah tambang di Malut melimpah. Berdasarkan data dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) per Mei 2019, terdapat 99 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan pemerintah tingkat kabupaten maupun provinsi.
Anggota Komisi III DPRD Provinsi Malut, Sukri Ali, mengungkapkan sejauh ini pertumbuhan ekonomi di sektor pertambangan tidak berbanding lurus dengan angka kemiskinan di Malut.
Sukri bilang, pada 2017–2018, DPRD membentuk panitia khusus IUP. Hasilnya terdapat 300 lebih dan dikurangi oleh Gubernur Abdul Gani Kasuba menjadi 105 IUP.
Meskipun tercatat ada sekitar ratusan IUP, namun menurut Sukri, tambang bukan salah satu indikator untuk bisa meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
“Seharusnya pertumbuhan pertambangan berbarengan dengan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat,” ucap Sukri, dalam dialog publik yang digelar DPD KNPI Malut bertempat di Kafe Jarod, Rabu malam (17/3).
“Lalu dari 105 tambang yang beroperasi di Maluku Utara ini, apa implikasinya,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, pertumbuhan Malut di triwulan III dan IV disuplai oleh sektor pertambangan, terutama dari PT Indonesia Weda Bay Industrial Park dan Harita Nickel.
“Suplay ekonominya begitu positif, tapi apakah berbanding lurus dengan situasi di lingkar tambang atau tidak,” jelasnya.
Ia mengatakan, daerah-daerah yang terdapat angka kemiskinan cukup tinggi rata-rata dari lokasi tambang bercokol.
Misalnya, kata dia, Kabupaten Halmahera Timur sebanyak 15 persen, Halmahera Tengah 13 persen, Halmahera Selatan 12 persen, dan Halmahera Utara 8 persen.
“Itu artinya ekonomi kita di sektor pertambangan tidak berbanding lurus dengan angka kemiskinan. Terutama di wilayah-wilayah perusahaan tambang bercokol,” jelasnya.
Padahal, lanjut dia, pertumbuhan ekonomi Malut 4,92 persen. Itu artinya, berada pada tren positif, dan itu digerakkan oleh sektor manufaktur atau tambang.
“Tapi pertumbuhan ekonomi tidak inklusif (terhitung) atau serta merta mengurangi angka kemiskinan. Saya berharap ada perhatian khusus dari pemerintah provinsi maupun kabupaten penghasil tambang, untuk bisa menekan angka kemiskinan. Atau minimal, bisa menurunkan orang miskin di Malut,” pungkasnya.
Statistisi Ahli Madya Koordinator Fungsi Statistik Sosial, Insaf Santoso, mengatakan persoalan kemiskinan bukan sekadar berapa jumlah dan persentase. Tapi ada dimensi lain yang perlu diperhatikan, yaitu tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Insaf bilang, periode Maret hingga September 2020, indeks kedalaman kemiskinan (P1) meningkat dari 0,937 pada Maret 2020 menjadi 1,090 pada September 2020.
Hal ini mengindikasikan rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin menjauhi garis kemiskinan. Hal tersebut diiringi dengan peningkatan pada indeks keparahan kemiskinan (P2). Dimana, P2 naik dari 0,206 pada Maret 2020 menjadi 0,234, pada September 2020.
“Ini mengindikasikan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin cenderung semakin melebar,” ungkapnya.
Jika dilihat, P1 di daerah pedesaan lebih tinggi dibanding perkotaan. Pada September 2020, P1 di perkotaan sebesar 0,653. Sedangkan di pedesaan mencapai 1,264.
Hal yang sama terjadi pada nilai P2. Untuk wilayah pedesaan angka kemiskinan malut juga lebih tinggi dibanding perkotaan.
“Pada September 2020, P2 untuk daerah perkotaan sebesar 0,110, sementara P2 di daerah perdesaan mencapai 0,283,” pungkas Insaf.