Indonesia kian mempertegas posisinya sebagai salah kekuatan ekonomi baru di tingkat global. Pasalnya, indonesia memiliki modal dan keunggulan sumber daya mineral, salah satunya nikel yang bisa dibilang memenuhi kebutuhan nikel global.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa kekayaan nikel ini menjadi modal besar Indonesia untuk membangun ekonomi hijau (green economy).
Untuk mengimplementasikan itu, Indonesia telah menerapkan kerangka besar melalui kebijakan hilirisasi mineral demi kebutuhan nikel global.
Hal itu disampaikan Jokowi saat berbicara dalam perayaan HUT ke-48 PDIP secara virtual pada Minggu (10/1/2021).
Menurut Jokowi, pengembangan industri hilir biji nikel menjadi baterai lithium menjadi agenda besar yang akan diwujudkan selama masa pemerintahannya diperiode kedua ini.
“Ke depan kita ingin mengolah biji nikel menjadi baterai lithium yang dapat digunakan untuk ponsel dan mobil listrik. Semua upaya tersebut akan menciptakan puluhan ribu lapangan pekerjaan baru sekaligus berkontribusi pada pengembangan energi masa depan,” imbuhnya.
Visi besar ini berdasarkan posisi Indonesia yang menguasai 30 persen produksi nikel global. Di sisi lain, Jokowi menggarisbawahi, cadangan nikel dalam negeri saat ini sebanyak 25 persen jika dibandingkan dengan cadangan dunia.
“Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. 25 persen cadangan nikel dunia ada di Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 21 juta ton. Sehingga, Indonesia mengontrol hampir 30 persen produksi nikel global,” tandasnya.
Sulawesi Episentrum Nikel
Pulau Sulawesi tercatat sebagai episentrum nikel di Indonesia. Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terikira 986 juta ton). Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.
“Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono, dalam webinar Masa Depan Hilirisasi Nikel Indonesia, dikutip Jumat (16/10/2020) lalu.
Eko mengungkapkan, hingga kini kegiatan eksplorasi nikel terus berjalan agar Indonesia bisa lebih mandiri dalam produksi nikel. Melalui proses hilirisasi, nikel diharapkan bisa menambah nilai tambah bagi negara.
“Kami di Badan Geologi juga giat ekplorasi (nikel) ini untuk rekomendasi wilayah baru laporkan ke Ditjen Minerba sebagai Wilayah Usaha Pertambangan. Potensi logam ikutan pada endapan nikel laterit perlu evaluasi dan identifikasi untuk bisa memanfaatkan nikel dengan lebih baik,” ujar Eko.
Berdasarkan rekomendasi Badan Geologi, Budi menjelaskan eksplorasi cebakan nikel lebih mudah diarahkan pada endapan mineral logam tipe laterit dibandingkan tipe primer karena potensinya lebih ekonomis.
“Sejauh ini cadangan di laterit itu jauh lebih besar daripada yang primer,” kata Eko.
Indonesia sendiri telah menempatkan diri sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia pada tahun 2019.
Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni).
Dikuasai Perusahaan China
Saat ini, pengelolaan komoditi nikel di Sulawesi dikuasai oleh perusahaan China. Ada tiga perusahaan besar yang menjadi pemain utama nikel ini yakni; Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, IMIP sudah menguasai 50 persen dari produksi hilir nikel di Indonesia pada 2018.
Porsi Vale menyusut jadi 22 persen dan Antam hanya 5 persen saja. Padahal, Vale masih menguasai produksi nikel dengan porsi 77 persen pada tahun 2014. Ketika itu, Antam memiliki pangsa pasar 19 persen dan perusahaan lainnya sebesar 3 persen.
Perusahaan nikel BUMN itu juga sudah dilewati oleh Virtue Dragon yang memegang porsi produksi nikel sebesar 11 persen, Harita Group 6 persen dan perusahaan lainnya sebesar 6 persen.
“Apa yang terjadi pada 2023, pasti komposisinya akan berubah drastis lagi. Luar biasa perkembangannya,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif.
Sumber: AsiaToday