Tak hanya untuk menjaga lingkungan sekitar area tambang terhindar dari pencemaran akibat limbah tambang, sisa-sisa hasil produksi tersebut juga harus bisa dimanfaatkan kembali dengan optimal. Pada akhirnya, hal ini pun bisa memberikan dampak positif bagi perusahaan tambang itu sendiri. Untuk mendukung hal ini, perusahaan tambang pun setidaknya juga mendapatkan arahan, pembinaan dan pengawasan dari pemerintah.
Limbah hasil sisa kegiatan produksi pertambangan harus mampu memberikan dampak yang positif pada ekonomi dan juga lingkungan. Dibutuhkan sebuah teknologi dan metode mutakhir, sehingga ke depan atau saat ini sedang dikembangkan, sisa hasil produksi yang biasanya berupa slag, tailing ataupun lumpur bisa dikelola untuk didapatkan manfaatnya kembali.
Sisa-sisa hasil produksi tambang itu bisa diolah dan dijadikan mineral strategis, material konstruksi dan lainnya.
Salah satu contoh dari aktivitas pengolahan sisa hasil tambang ini yang sedang dikembangkan yakni residu bauksit atau lumpur merah yang menjadi limbah dari pabrik alumina. Material tersebut bisa diolah untuk kemudian digunakan sebagai material konstruksi bangunan. Red Mud ini juga bisa dimanfaatkan lagi untuk industri metalurgi lain, karena sejatinya masih memiliki kandungan logam seperti, aluminium, besi, skandium, titanium dan logam tanah jarang dengan beragam varian lainnya.
Lebih lanjut, adapun syarat pemanfaatan limbah red mud itu tentunya harus diberikan secara cuma-cuma atau gratis. Kemudian letak pabrik penghasil limbah harus berada tidak jauh dari pabrik alumina. Selain itu kandungan besi dalam red mud tidak kurang dari 30 persen.
Sejumlah perusahaan pertambangan lainnya pun rupanya diketahui juga sudah mulai melakukan pengolahan sisa hasil tambang. Perusahaan tambang mengaku saat ini proses pemurnian konsentrat bahkan sudah mulai mendekati zero waste atau tanpa sisa.
Energi panas yang merupakan hasil dari gas buang juga bisa digunakan dalam pembangkit listrik.
Pengolahan Nikel Low Grade
Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki cadangan nikel dalam bentuk bijih laterit terbesar ketiga didunia setelah Kaledonia Baru dan Filipina (Rochani dan Saleh, 2013). Terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 8 Tahun 2015 tentang peningkatan nilai tambah mineral, mendukung deretan pentingnya penelitian untuk pengolahan bijih laterit.
Pengolahan laterit dapat menggunakan proses pirometalurgi dan hidrometalurgi. Hidrometalurgi merupakan proses ekstraksi logam yang dilakukan pada suhu yang relatif rendah dengan cara pelindian menggunakan larutan kimia, sedangkan pirometalurgi merupakan proses ekstraksi logam yang dilakukan pada suhu tinggi (Kyle, 2010).
Saat ini proses hidrometalurgi yang digunakan untuk mengolah laterit dengan kadar nikel rendah yaitu tipe limonit, sedang dibangun di Indonesia. Penggunaan asam anorganik dalam pelindian berakibat pada perlunya penanganan limbah asam anorganik yang dihasilkan. Untuk menghindari efek samping berbahaya yang disebabkan oleh penggunaan asam anorganik maka dikembangkan proses pelindian asam organik yang lebih ramah lingkungan.
Maluku Utara menjadi salah satu daerah pertama yang akan memiliki industri bahan baku untuk baterai mobil listrik dengan teknologi hidrometalurgi.
Industri yang sedang dibangun Harita Nickel itu, direncanakan mulai berproduksi pada akhir 2020. Pabrik ini diklaim sebagai yang pertama beroperasi di Indonesia, sehingga menjadi kebanggan tersendiri bagi daerah itu.
Selama ini, smelter yang ada di Indonesia menyerap nikel kadar tinggi 1,7 ke atas. Sedangkan proses hidrometalurgi yang dikembangkan oleh Harita di Obi, menggunakan nikel kadar rendah di bawah 1,7.
Industri baru ini akan membutuhkan 1.920 orang tenaga kerja profesional, belum termasuk kontraktor dan industri pendukung lainnya.
Industri ini diharapkan segera berproduksi sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Hal ini sangat membantu perekonomian secara umum yang terpuruk akibat pandemi Covid 19.
–
Sumber: Dunia Tambang